Jumat, November 13, 2009

Epistemology of Bayani

Epistemologi Bayani
Oleh: A Khudori Soleh
Bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang menekankan otoritas teks (nash), secara langsung atau tidak langsung, dan dijustifikasi oleh akal kebahasaan yang digali lewat inferensi (istidlâl). Secara langsung artinya memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikan tanpa perlu pemikiran; secara tidak langsung berarti memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran.Meski demikian,hal ini tidak berarti akal atau rasio bisa bebas menentukan makna dan maksudnya, tetapi tetap harus bersandar pada teks. Dalam bayani, rasio dianggap tidak mampu memberikan pengetahuan kecuali disandarkan pada teks.[1] Dalam perspektif keagamaan, sasaran bidik metode bayani adalah aspek eksoterik (syariat).

A. Perkembangan Bayani.
Dari kata-kata bahasa Arab, bayan berarti penjelasan (eksplanasi). Al-Jabiri, berdasarkan beberapa makna yang diberikan kamus Lisân al-Arâb –suatu kamus karya Ibn Mandzur dan dianggap sebagai karya pertama yang belum tercemari pengertian lain-- tentang kata ini, memberikan arti sebagai al-fashl wa infishâl (memisahkan dan terpisah) dan al-dhuhûr wa al-idhhâr (jelas dan penjelasan). Makna al-fashl wa al-idhhâr dalam kaitannya dengan metodologi, sedang infishâl wa dhuhûr berkaitan dengan visi (ru`y) dari metode bayani.[2]
Sementara itu, secara terminologi, bayan mempunyai dua arti (1) sebagai aturan-aturan penafsiran wacana (qawânin tafsîr al-khithâbi), (2) syarat-syarat memproduksi wacana (syurût intâj al-khithâb). Berbeda dengan makna etimologi yang telah ada sejak awal peradaban Islam, makna-makna terminologis ini baru lahir belakangan, yakni pada masa kodifikasi (tadwîn). Antara lain ditandai dengan lahirnya Al-Asybah wa al-Nazhâir fî al-Qur`ân al-Karîm karya Muqatil ibn Sulaiman (w. 767 M) dan Ma`ânî al-Qur`ân karya Ibn Ziyad al-Farra’ (w. 823 M) yang keduanya sama-sama berusaha menjelaskan makna atas kata-kata dan ibarat-ibarat yang ada dalam al-Qur`an.[3]
Pengertian tentang bayani tersebut kemudian berkembang sejalan dengan perkembangan pemikiran Islam. Begitu pula aturan-aturan metode yang ada di dalamnya. Pada masa Syafii (767-820 M) yang dianggap sebagai peletak dasar yurisprudensi Islam, bayani berarti nama yang mencakup makna-makna yang mengandung persoalan ushûl (pokok) dan yang berkembang hingga ke cabang (furû`). Sedang dari segi metodologi, Syafii membagi bayan ini dalam lima bagian dan tingkatan.(1) Bayan yang tidak butuh penjelasan lanjut, berkenaan dengan sesuatu yang telah dijelaskan Tuhan dalam al-Qur`an sebagai ketentuan bagi makhluk-Nya.(2) Bayan yang beberapa bagiannya masih global sehingga butuh penjelasan sunnah,(3) bayan yang keseluruhannya masih global sehingga butuh penjelasan sunnah,(4) bayan sunnah, sebagai uraian atas sesuatu yang tidak terdapat dalam al-Qur`an,(5) bayan ijtihad, yang dilakukan dengan qiyas atas sesuatu yang tidak terdapat dalam al-Qur`an maupun sunnah. Dari lima derajat bayan tersebut al-Syafii kemudian menyatakan bahwa yang pokok (ushûl) ada tiga, yakni al-Qur`an, sunnah dan qiyas, kemudian ditambah ijma.[4]
Al-Jahizh (w. 868 M) yang datang berikutnya mengkritik konsep bayan Syafii di atas. Menurutnya, apa yang dilakukan Syafii baru pada tahap bagaimana memahami teks, belum pada tahap bagaimana memberikan pemahaman pada pendengar atas pemahaman yang diperoleh. Padahal, menurutnya, inilah yang terpenting dari proses bayani. Karena itu, sesuai dengan asumsinya bahwa bayan adalah syarat-syarat untuk memproduksi wacana (syurût intâj al-khithâb) dan bukan sekedar aturan-aturan penafsiran wacana (qawânin tafsîr al-khithâbi), Jahizh menetapkan syarat bagi bayani.(1) syarat kefasihan ucapan,(2) seleksi huruf dan lafat, sehingga apa yang disampaikan bisa menjadi tepat guna, (3) adanya keterbukaan makna, yakni bahwa makna harus bisa diungkap dengan salah satu dari lima bentuk penjelas, yakni lafat, isyarat, tulisan, keyakinan dan nisbah, (4) adanya kesesuaian antara kata dan makna, (5) adanya kekuatan kalimat untuk memaksa lawan mengakui kebenaran yang disampaikan dan mengakui kelemahan serta kesalahan konsepnya sendiri.[5]
Sampai di sini, bayani telah berkembang jauh. Ia tidak lagi sebagai sekedar penjelas atas kata-kata sulit dalam al-Qur`an tetapi telah berubah menjadi sebuah metode bagaimana memahami sebuah teks (nash), membuat kesimpulan dan keputusan atasnya, kemudian memberikan uraian secara sistematis atas pemahaman tersebut kepada pendengar, bahkan telah ditarik sebagai alat untuk memenangkan perdebatan. Namun, apa yang ditetapkan al-Jahizh dalam rangka memberikan uraian pada pendengar tersebut, pada masa berikutnya, dianggap kurang tepat dan sistematis. Menurut Ibn Wahhab, bayani bukan diarahkan untuk ‘mendidik’ pendengar tetapi sebuah metode untuk membangun konsep diatas dasar ashûl-furû`; caranya dengan menggunakan paduan pola yang dipakai ulama fiqh dan kalâm (teologi).[6]
Paduan antara metode fiqh yang eksplanatoris dan teologi yang dialektik dalam rangka membangun epistemologi bayani baru ini sangat penting, karena –menurutnya— apa yang perlu penjelasan (bayân) tidak hanya teks suci tetapi mencakup empat hal. (1) wujud materi yang mengandung aksiden dan substansi, (2) rahasia hati yang memberi keputusan bahwa sesuatu itu benar-salah dan subhat, saat terjadi proses perenungan. (3) teks suci dan ucapan yang mengandung banyak dimensi. (4) teks-teks yang merupakan representasi pemikiran dan konsep.Dari empat macam objek ini, Ibn Wahhab menawarkan empat macam bayani; (1) bayân al-I`tibâr untuk menjelaskan sesuatu yang berkaitan dengan materi (2) bayân al-I`tiqâd berkaitan dengan hati (qalb),(3) bayân al-`ibârah berkaitan dengan teks dan bahasa,(4)bayân al-kitâb berkaitan dengan konsep-konsep tertulis.[7]
Pada periode terakhir muncul al-Syathibi (w. 1388 M). Sampai sejauh itu, menurutnya, bayani belum bisa memberikan pengetahuan yang pasti (qath`I) tapi baru derajat dugaan (zhan), sehingga tidak bisa dipertanggung-jawabkan secara rasional. Dua teori utama dalam bayani, istimbâth dan qiyâs, yang dikembangkan bayani hanya berpijak pada sesuatu yang masih bersifat dugaan. Padahal, penetapan hukum tidak bisa didasarkan pada sesuatu yang bersifat dugaan.[8]
Karena itu, Syâthibi lantas menawarkan tiga teori untuk memperbarui bayani, yakni al-istintaj, al-istiqra’ dan maqâshid al-syâri`, yang dieleminir dari pemikiran Ibn Rusyd dan Ibn Hazm. Al-Istintâj sama dengan silogisme, menarik kesimpulan berdasarkan dua premis yang mendahului, berbeda dengan qiyas bayani yang dilakukan dengan cara menyandarkan furu` pada ashl, yang oleh Syathibi dianggap tidak menghasilkan pengetahuan baru. Pengetahuan bayani harus dihasilkan melalui proses silogisme ini, sebab menurut al-Syâthibi, semua dalil syara` telah mengandung dua premis, nazhariyah (teoritis) dan naqliyah (transmisif). Nazhariyah berbasis pada indera, rasio, penelitian dan penalaran, sementara naqliyah berbasis pada proses transmisif (naql/ khabar). Nazhariyah merujuk pada tahqîq al-manâth al-hukm (uji empiris suatu sebab hokum) dalam setiap kasus, sedang naqliyah merujuk pada hukum itu sendiri dan mencakup pada semua kasus yang sejenis, sehingga ia merupakan kelaziman yang tidak terbantah dan sesuatu yang mesti diterima. Nazhariyah merupakan premis minor sedang naqliyah menjadi premis mayor.[9]
Istiqra’ adalah penelitian terhadap teks-teks yang setema kemudian di ambil tema pokoknya, tidak berbeda dengan tematic induction; sedang maqâshid al-syar`iyah berarti bahwa diturunkannya syariah ini mempunyai tujuan-tujuan tertentu, yang menurut Syathibi terbagi dalam tiga macam; dlarûriyah (primer), hâjiyah (sekunder) dan tahsîniyah (tersier).[10]
Pada tahap ini, metode bayani telah lebih sempurna dan sitematis, dimana proses pengambilan hukum atau pengetahuan tidak sekedar mengqiyaskan furu` pada ashl tetapi juga lewat proses silogisme seperti dalam filsafat.

B. Sumber Pengetahuan.
Meski menggunakan metode rasional filsafat seperti digagas Syathibi, epistemology bayani tetap berpijak pada teks (nash). Dalam ushûl al-fiqh, yang dimaksud nash sebagai sumber pengetahuan bayani adalah al-Qur`an dan hadis.[11] Ini berbeda dengan pengetahuan burhani yang mendasarkan diri pada rasio dan irfani pada intuisi. Karena itu, epistemolog bayani menaruh perhatian besar dan teliti pada proses transmisi teks dari generasi ke generasi.[12]
Persoalan di atas sangat penting bagi bayani, karena –sebagai sumber pengetahuan-- benar tidaknya transmisi teks menentukan benar salahnya ketentuan hukum yang diambil. Jika transmisi teks bisa di pertanggung-jawabkan berarti teks tersebut benar dan bisa dijadikan dasar hukum. Sebaliknya, jika transmisinya diragukan, maka kebenaran teks tidak bisa dipertanggung jawabkan dan itu berarti ia tidak bisa dijadikan landasan hukum.
Karena itu, mengapa pada masa tadwîn (kodifikasi), khususnya kodifikasi hadis, para ilmuan begitu ketat dalam menyeleksi sebuah teks yang diterima. Bukhari, misalnya, menggariskan syarat yang tegas bagi diterimanya sebuah teks hadis; (1) bahwa perowi harus memenuhi tingkat kriteria yang paling tinggi dalam hal watak pribadi, keilmuan dan standar akademis, (2) harus ada informasi positif tentang para perowi yang menerangkan bahwa mereka saling bertemu muka dan para murid belajar langsung pada gurunya. Dari upaya-upaya seleksi tersebut kemudian lahir ilmu-ilmu tertentu untuk mendeteksi dan memastikan keaslian teks, seperti al-Jarh wa al-Ta`dîl, Mushthalah al-Hadits, Rijâl al-Hadits dan seterusnya.[13]
Selanjutnya, tentang nash al-Qur`an, meski sebagai sumber utama, tetapi ia tidak selalu memberikan ketentuan pasti. Dari segi penunjukkan hukumnya (dilâlah al-hukm), nash al-Qur`an bisa dibagi dua bagian, qath`I dan zhanni. Nash yang qath`I dilâlah adalah nash-nash yang menunjukkan adanya makna yang dapat difahami dengan pemahaman tertentu, atau nash yang tidak mungkin menerima tafsir dan takwil, atau sebuah teks yang tidak mempunyai arti lain kecuali arti yang satu itu. Dalam konsep Syafi`i, ini yang disebut bayan yang tidak butuh penjelasan lanjut. Nash yang dzanni dilâlah adalah nash-nash yang menunjukkan atas makna tapi masih memungkinkan adanya takwil, atau dirubah dari makna asalnya menjadi makna yang lain.[14]
Kenyataan tersebut juga terjadi pada al-sunnah, bahkan lebih luas. Jika dalam al-Qur`an, konsep qath’I dan dzanni hanya berkaitan dengan dilâlah-nya, dalam sunnah hal itu berlaku pada riwayat dan dilâlah-nya. Dari segi riwayat berarti bahwa teks hadis tersebut diyakini benar-benar dari Nabi atau tidak, atau bahwa aspek ini akan menentukan sah tidaknya proses transmisi teks hadis, yang dari sana kemudian lahir berbagai macam kualitas hadis, seperti mutawatir, ahad, shahîh, hasan, gharîb, ma`rûf, maqtû` dan seterusnya. Dari segi dilâlah berarti bahwa makna teks hadis tersebut telah memberikan makna yang pasti atau masih bisa ditakwil.[15]

C. Lafat & Makna, Ushûl & Furû`.
Berdasarkan kenyataan bahwa bayani berkaitan dengan teks dan hubungannya dengan ‘realitas’, maka persoalan pokok (tool of analysis) yang ada di dalamnya adalah sekitar masalah lafat-makna, dan ushûl-furû`. Menurut al-Jabiri,[16] persoalan lafat-makna mengandung dua aspek; teoritis dan praktis. Dari sisi teori muncul tiga persoalan, (1) tentang makna suatu kata, apakah didasarkan atas konteksnya atau makna aslinya (tauqîf), (2) tentang analogi bahasa, (3) soal pemaknaan al-asmâ’ al-syar`iyah, seperti kata shalat, shiyam, zakat dan lainnya.
Pada masalah pertama, pemberian makna atas sebuah kata, muncul akibat adanya perdebatan antara kaum rasionalis dengan ahli hadis, antara Muktazilah dengan Ahli Sunnah. Menurut Muktazilah yang rasionalis, suatu kata harus diberi makna berdasarkan konteks dan istilahnya, sementara bagi ahli sunnah, suatu kata harus dimaknai sesuai dengan makna asalnya. Sebab, menurut ahli sunnah, bahasa atau kata pada awalnya berasal dari Tuhan yang diberikan kepada Rasul-Nya untuk disebarkan kepada umatnya, sedang bagi Muktazilah, suatu lafat pada dasarnya bersifat mutlak. Karena itu, bagi ahli sunnah, kata per kata dari sebuah teks harus tetap dijaga seperti aslinya, sebab perubahan redaksi teks berarti perubahan makna.[17]
Ini sesuai dengan asumsi dasar pengetahuan arab bahwa makna dan sistem berfikir lahir dari kata (teks) bukan teks yang lahir dari makna dan sistem berfikir. Ilmu nahwu (gramatika arab) yang lahir dari asumsi ini bertugas menjaga teks dari kemungkinan terjadinya penyimpangan makna. Pada perkembangan selanjutnya, diskursus nahwu bukan lagi sekedar berisi kaidah-kaidah bahasa yang mengatur ucapan dan tulisan secara benar tetapi sekaligus juga berisi aturan-aturan berfikir, yang kemudian melahirkan pengetahuan bayani.[18]
Masalah kedua, tentang analogi bahasa, seperti kata nabîdz (perasan gandum) dengan khamr (perasan anggur, atau kata sâriq (pencuri benda) dengan nabâsy (pencuri mayat di kubur). Di sini ulama sepakat bahwa analogi diperbolehkan, tapi hanya dari sisi logika bahasanya, bukan pada lafat atau redaksinya. Sebab, masing-masing bahasa mempunyai istilah sendiri yang mempunyai kedalaman makna yang berbeda, sehingga jika dianalogikan akan bisa merusak bahasa yang ada diantaranya.
Masalah ketiga, pemaknaan atas asmâ’ al-syar’iyah. Menurut al-Baqilani (w. 1012 M), karena al-Qur`an diturunkan dalam tradisi dan bahasa Arab, maka ia harus dimaknai sesuai dengan kebudayaan Arab, tidak bisa didekati dengan budaya dan bahasa lain. Sebaliknya, menurut Muktazilah, pada beberapa hal tertentu, ia bisa dimaknai dengan pengertian lain, sebab al-Qur`an sendiri tidak jarang menggunakan istilah Arab tetapi dengan makna tersendiri yang berbeda dengan makna asalnya.[19]
Adapun tentang hubungan kata-makna dalam tataran praktis, ia berkaitan dengan penafsiran atas wacana (khithâb) syara`. Ulama fiqh banyak mengembangkan masalah ini, baik dari aspek kedudukan sebuah kata, penggunaan, tingkat kejelasan maupun metodenya.[20]
Selanjutnya, soal ushûl-furû`. Menurut Jabiri,[21] ushûl disini tidak menunjuk pada dasar-dasar hukum fiqh, seperti al-Qur`an, sunnah, ijma dan qiyas, tetapi pada pengertian umum bahwa ia adalah pangkal (asas) dari proses pengalian pengetahuan.Ushûl adalah ujung rantai dari hubungan timbal balik dengan furu`. Dari sini, al-Jabiri kemudian melihat tiga macam posisi dan peran ashûl dalam hubungannya dengan furu`. Pertama, ushûl sebagai ‘sumber’ pengetahuan yang cara mendapatkannya dengan istimbât. Berbeda dengan istintâj (deduksi) yang dilakukan berdasarkan proposisi yang ada, istimbat menggali untuk mendapat sesuatu yang sama sekali baru, sehingga nash berkedudukan sebagai sumber pengetahuan, sebagaimana bumi mengeluarkan air dari perutnya. Kedua, ushûl sebagai ‘sandaran’ bagi pengetahuan yang lain, yang cara penggunaannya dengan qiyas, baik dengan qiyâs illat seperti yang dipakai ahli fiqh atau qiyâs dalâlah seperti yang digunakan kaum teolog. Ketiga, ushûl sebagai pangkal dari proses pembentukan pengetahuan, yang caranya dengan menggunakan kaidah-kaidah ushûl al-fiqh.[22]

D. Cara Mendapat Pengetahuan.
Untuk mendapatkan pengetahuan, epistemologi bayani menempuh dua jalan. Pertama, berpegang pada redaksi (lafat) teks dengan menggunakan kaidah bahasa Arab, seperti nahw dan sharâf sebagai alat analisa. Kedua, menggunakan metode qiyâs (analogi) dan inilah prinsip utama epistemologi bayani.[23]
Dalam kajian ushûl al-fiqh, qiyas diartikan sebagai memberikan keputusan hukum suatu masalah berdasarkan masalah lain yang telah ada kepastian hukumnya dalam teks, karena adanya kesamaan illah. Ada beberapa hal yang harus dipenuhi dalam melakukan qiyas: (1) adanya al-ashl, yakni nas suci yang memberikan hukum dan dipakai sebagai ukuran, (2) al-far`, sesuatu yang tidak ada hukumnya dalam nas, (3) hukm al-ashl, ketetapan hukum yang diberikan oleh ashl, (4) illah, keadaan tertentu yang dipakai sebagai dasar penetapan hukum ashl.[24]
Contoh qiyas adalah soal hukum meminum arak dari kurma. Arak dari perasan kurma disebut far` (cabang) karena tidak ada ketentuan hukumnya dalam nash, dan ia akan diqiyaskan pada khamer. Khamer adalah ashl (pokok) sebab terdapat dalam teks (nash) dan hukumnya haram, alasannya (illah) karena memabukkan. Hasilnya, arak adalah haram karena ada persamaan antara arak dan khamer, yakni sama-sama memabukkan.
Menurut Jabiri, metode qiyas sebagai cara mendapatkan pengetahuan dalam epistemologi bayani tersebut digunakan dalam tiga aspek. Pertama, qiyas dalam kaitannya dengan status dan derajat hukum yang ada pada ashl maupun furû` (al-qiyâs bi i`tibâr madiy istihqâq kullin min al-ashl wa al-far`i li al-hukm). Bagian ini mencakup tiga hal: (1) qiyâs jalî, dimana far` mempunyai persoalan hukum yang kuat dibanding ashl, (2) qiyâs fî ma`na al-nash, dimana ashl dan far` mempunyai derajat hukum yang sama, (3) qiyâs al-khafî, dimana illat ashl tidak diketahui secara jelas dan hanya menurut perkiraan mujtahid. Contoh qiyâs jalî adalah seperti hukum memukul orang tua (far`). Masalah ini tidak ada hukumnya dalam nash, sedang yang ada adalah larangan berkata “Ah” (ashl). Perbuatan memukul lebih berat hukumnya dibanding berkata “ah”.[25]
Kedua, berkaitan dengan illat yang ada pada ashl dan far`, atau yang menunjukkan kearah situ (qiyâs bi i`tibâr binâ’ al-hukm alâ dzikr al-illah au bi i`tibâr dzikr mâ yadull `alaihâ). Bagian ini meliputi dua hal: (1) qiyâs al-illat, yaitu menetapkan ilat yang ada ashl kepada far`, (2) qiyâs al-dilâlah, yaitu menetapkan petunjuk (dilâlah) yang ada pada ashl kepada far`, bukan illahnya.[26]
Ketiga, qiyas berkaitan dengan potensi atau kecenderungan untuk menyatukan antara ashl dan far` (qiyâs bi i`tibâr quwwah “al-jâmi`” bain al-ashl wa al-far` fayumkin tashnifuh) yang oleh al-Ghazali dibagi dalam empat tingkat: (1) adanya perubahan hukum baru, (2) keserasian, (3) keserupaan (syibh), (4) menjauhkan (thard).[27]
Menurut Abd al-Jabbar, seorang pemikir teologi Muktazilah, metode qiyas bayani diatas tidak hanya untuk menggali pengetahuan dari teks tetapi juga bisa dikembangkan dan digunakan untuk mengungkap persoalan-persoalan non-fisik (ghaib). Disini ada empat cara.[28]
1. Berdasarkan kesamaan petunjuk (dilâlah) yang ada (istidlâl bi al-syâhid alâ al-ghâib li isytirâkihimâ fî al-dilâlah). Contoh, untuk mengetahui bahwa Tuhan Maha Berkehendak. Kehendak Tuhan (ghaib) diqiyaskan pada kondisi empirik manusia (syahid). Hasilnya, ketika dalam realitas empirik manusia mempunyai kehendak dan tindakan berarti Tuhan juga demikian.
2. Berdasarkan kesamaan illah (istidlâl bi al-syâhid alâ al-ghâib li isytirâkihimâ fî al-illah). Contoh, Tuhan tidak mungkin berlaku jahat karena pengetahuann-Nya tentang hal tersebut. Ini didasarkan atas kenyataan yang terjadi pada manusia, yaitu ketika manusia tidak akan berbuat jahat karena mengetahui tentang kejelekan sikap tersebut, berarti Tuhan juga demikian.
3. Berdasarkan kesamaan yang berlaku pada tempat ilah (istidlâl bi al-syâhid alâ al-ghâib li isytirâkihimâ fîmâ yajrî majra al-illah).
4. Berdasarkan pemahaman bahwa yang ghaib mempunyai derajat lebih dibanding yang empirik (istidlâl bi al-syâhid alâ al-ghâib li kaun al-hukm fî al-ghâib ablagh minh fî al-syâhid). Contoh, ketika mengetahui bahwa kita (syahid) harus berlaku baik karena hal tersebut adalah kebaikan, maka apalagi Tuhan yang maha mengetahui bahwa sesuatu adalah baik.

D. Penutup.
Berdasarkan uraian di atas, pertama, bahwa secara historis, bayani berkembang dari “bawah”, dari sekedar upaya memisahkan kata-kata al-Qur`an dari pengaruh kata-kata asing dan menjelaskan kata-katanya yang sulit sampai menjadi metode berfikir yang sistematis untuk menggali pengetahuan dan menyampaikannya kepada pendengar.
Kedua, bahwa sumber pengetahuan bayani, al-Qur`an dan sunnah, tidak senantiasa bersifat pasti (qath`I) tetapi terkadang juga samar (zhanni), bahkan sunnah bersifat qath`I dan zhanni dari segi materi maupun transmisi teksnya. Persoalan pokok yang diangkat mencakup dua hal, lafat-makna dan ushûl-furû`. Segi lafat-makna, bahwa lafat atau kata muncul lebih dahulu dan menentukan makna yang dimaksud, bahkan juga menentukan sistem berfikir selanjutnya. Sedang segi ushûl-furû`, bahwa ashl bisa berkedudukan sebagai sumber, sandaran atau pangkal dari proses penbentukan pengetahuan.
Ketiga, pengetahuan bayani diperoleh lewat dua cara atau tahapan, (1) berdasarkan susunan redaksi teks yang dikaji lewat analisa lingistik, (2) berdasarkan metode qiyas atau analogi yang dilihat dari salah satu dari tiga aspek, yaitu hubungan antara ashl dan far, illat yang ada pada ashl dan far`, dan kecenderungan yang menyatukan antara ashl dan far`.
Keempat, analogi bayani tidak hanya digunakan untuk menggali pengetahuan dari teks melainkan juga dipakai untuk memahami realitas-realitas non-fisik. Pengetahuan dan teori-teori metafisik-teologis Islam klasik didasarkan atas metode qiyas bayani ini.
Kelima, karena hanya mendasarkan diri pada teks, pemikiran bayani menjadi “terbatas” dan terfokus pada hal-hal yang bersifat aksidental bukan substansial, sehingga kurang bisa dinamis mengikuti perkembangan sejarah dan sosial masyarakat yang begini cepat. Kenyataannya, pemikiran Islam saat ini yang masih banyak didominasi bayani fiqhiyah kurang bisa merespon dan mengimbangi perkembangan peradaban dunia [.]

Catatan Kaki


[1]
Al-Jabiri, Bunyah al-Aql al-Arabi, (Beirut, al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 1991), 38.

[2] Ibid, 20

[3] Ibid, 20-1.

[4] Ibid, 23.

[5] Ibid, 25-30. Dengan asumsi tersebut, yang perlu diketahui bahwa al-Jahizh adalah salah seorang pemikir teologi Muktazilah. Bagi Muktazilah, yang saat itu banyak menghadapi perdebatan dengan kaum Mazdakiah, Manikiyah dan pemikiran-pemikiran lain yang tidak, bahkan cenderung menyerang akidah Islam, bayani lebih banyak difahami sebagai alat untuk menggali argumen dari al-Qur`an yang selanjutnya di gunakan untuk menghantam argumen lawan.

[6] Ibid, 32-3. Ibn Wahab, nama lengkapnya Abu Husain Ishaq ibn Ibrahim ibn Sulaiman ibn Wahhab al-Katib. Identitas lainnya tidak diketahui. Namun, yang pasti, kitab Al-Burhân fî wujûh al-Bayân, karya Ibn Wahhab yang digunakan sebagai referensi dalam tulisan ini, selesai ditulis tahun 946 M. Artinya, ia seangkatan dengan filosof terkenal muslim, al-Farabi. Karena itu, gagasannya bahwa metode bayan harus dilakukan dengan menggunakan paduan antara pola fiqh dan teologi ini, menurut Jabiri, dipengaruhi oleh adanya usaha untuk meredam ketegangan antara fiqh dan filsafat yang terjadi saat itu.

[7] Ibid, 34-6. Dengan konsep paduan antara metode teologi dan fiqh ini berarti metode pemikiran filsafat telah masuk dalam sistem bayani. Bahkan juga persoalan yang mestinya menjadi garapan metode irfani (gnostik), yakni soal hati.

[8] Ibid, 538.

[9] Ibid, 539.

[10] Ibid, 540-47.

[11] Abd Wahab Khalaf, Ilm Ushûl al-Fiqh, (Kuwait, Dar al-Qalam, 1978), 34-5.

[12] Al-Jabiri, Bunyah, 116.

[13] M. Mustafa Azami, Metodologi Kritik Hadis, terj. Yamin, (Bandung, Pustaka Hidayah, 1996), 143.

[14] Wahab Khalaf, Ilm Ushul Fiqh, 62-3.

[15] Ibid, 77; al-Jabiri, Bunyah, 116.

[16] Al-Jabiri, ibid, 56.

[17] Ibid, 42.

[18] Al-Jabiri, Takwîn al-Aql al-Arabi, (Beirut, Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 1991), 90-1.

[19] Al-Jabiri, Bunyah, 58.

[20] Lebih jelas tentang ini, lihat Jabiri, ibid, 58-62.

[21] Ibid, 113.

[22] Ibid, 113-16.

[23] Ibid, 530.

[24] Abd Wahab Khalaf, Ilm Ushûl al-Fiqh, (Kuwait, Dar al-Qalam 1978), 60.

[25] Al-Jabiri, Bunyah, 146.

[26] Ibid, 147. Illah itu sendiri, sesungguhnya, terbagai dalam beberapa tingkat: (1) ada yang jelas dan diketahui, (2) masih berupa signal-signal (`alâmah), (3) berupa pengaruh-pengaruh dalam kehidupan. Lihat Abdur Rahim, The Principles of Islamic Jurisprudence, (New Delhi, Kitab Bhavam, 1994), 140.

[27] Al-Jabiri, Bunyah, 147-9. Untuk Ghazali, lihat karyanya, Al-Mustashfâ min `Ilm al-Ushûl, II, (Bulaq, Matba`ah al-Amiriyah, 1322 H), 319.

[28] Abd al-Jabbar, Al-Muhîth bi al-Taklîf, ed. Umar Azmi, (Kairo, Muassasah al-Misriyah, 1965), 167-8.

Termuat dalam Buku WACANA BARU FILSAFAT ISLAM, halaman 177-193.

2 komentar:

lina@happy family Jumat, November 13, 2009  

Terima kasih Pak, ini ilmu baru buat saya...

asepdj Minggu, November 22, 2009  

thx yaa..ilmunya sngat berarti

Popular Posts

Guestbook Slide

Family Album

My Published Books

  © Blogger templates Islamic Philosophy by A Khudori Soleh Juni 2009

Back to TOP